Malam Lailatul Qadar Dalam Al Qur'an

Diposting oleh Selamat datang di blog on Selasa, 07 Agustus 2012

Berbicara tentang Lailat Al-Qadar mengharuskan kita  berbicara tentang surat Al-Qadar.
Surat  Al-Qadar  adalah  surat  ke-97  menurut urutannya dalam Mushaf.  Ia  ditempatkan  sesudah  surat  Iqra'.  Para   ulama Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surat Iqra'. Bahkan sebagian di antara mereka menyatakan bahwa surat Al-Qadar turun setelah Nabi Saw. berhijrah ke Madinah.
Penempatan urutan surat dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah  Allah  Swt.,   dan   dari   perurutannya   ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan.
Kalau  dalam surat Iqra' Nabi Saw. (demikian pula kaum Muslim) diperintahkan untuk membaca, dan yang dibaca itu  antara  lain adalah  Al-Quran, maka wajar jika surat sesudahnya yakni surat Al-Qadar  ini  berbicara  tentang   turunnya   Al-Quran,   dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Quran.
Bulan  Ramadhan  memiliki  sekian  banyak  keistimewaan, salah satunya adalah Lailat Al-Qadar, suatu malam yang oleh Al-Quran "lebih baik dari seribu bulan."
Tetapi  apa  dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali saja yakni malam ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu,  atau  terjadi  setiap  bulan  Ramadhan  sepanjang masa? Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang  yang  menantinya pasti  akan mendapatkannya, dan benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya  air, heningnya  malam,  dan  menunduknya pepohonan dan sebagainya)? Bahkan masih banyak lagi  pertanyaan  yang  dapat  dan  sering muncul berkaitan dengan malam Al-Qadar itu.

Yang  pasti  dan  harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan Al-Quran  bahwa,  "Ada  suatu  malam  yang  bernama Lailat  Al-Qadar,  dan bahwa malam itu adalah malam yang penuh berkah, di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan."
Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang  penah hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami (QS    Al-Dukhan [44]: 3-5).

Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab  suci menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan Ramadhan (QS Al-Baqarah [2]: 185) serta pada malam Al-Qadar (QS Al-Qadr [97]: l).
Malam  tersebut  adalah  malam  mulia.  Tidak  mudah diketahui betapa besar kemuliannnya. Hal  ini  disyaratkan  oleh  adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu:
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS Al-Qadr [97]: 2)
Tiga belas kali kalimat ma  adraka  terulang  dalam  Al-Quran, sepuluh  di  antaranya  mempertanyakan  tentang kehebatan yang berkait dengan hari  kemudian,  seperti:  Ma  adraka  ma  yaum al-fashl,  dan sebagainya. Kesemuanya merupakan hal yang tidak mudah  dijangkau  oleh  akal  pikiran  manusia,  kalau  enggan berkata  mustahil  dijangkaunya. Tiga kali ma adraka sisa dari angka tiga belas itu adalah:
Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu? (QS Al-Thariq [86]: 2)
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (QS Al-Balad [90]: 12)
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS Al-Qadr [97]: 2)
Pemakaian kata-kata ma adraka dalam Al-Quran berkaitan  dengan objek  pertanyaan  yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat, dan sulit  dijangkau  hakikatnya  secara  sempurna  oleh  akal pikiran manusia.
Walaupun   demikian,   sementara   ulama   membedakan   antara pertanyaan ma  adraka  dan  ma  yudrika  yang  juga  digunakan Al-Quran dalam tiga ayat.

Dan tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit itu adalah dekat waktunya? (QS Al-Ahzab [33]: 63)
Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat? (QS Al-Syura [42]: 17
Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dan dosa)? (QS 'Abasa [80]: 3).
Dua ayat pertama di  atas  mempertanyakan  dengan  ma  yudrika menyangkut   waktu   kedatangan  kiamat,  sedang  ayat  ketiga berkaitan dengan kesucian jiwa manusia.  Ketiga  hal  tersebut tidak mungkin diketahui manusia.

Secara   gamblang   Al-Quran   --demikian   pula   As-Sunnah-- menyatakan bahwa Nabi Saw. tak mengetahui kapan datangnya hari kiamat,  tidak  pula mengetahui tentang~perkara yang gaib. Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang  tidak  mungkin  diketahui  walau oleh Nabi Saw. sendiri, sedang wa  ma  adraka,  walau  berupa  pertanyaan  namun  pada akhirnya  Allah Swt. menyampaikannya kepada Nabi Saw. Sehingga informasi  lanjutan  dapat  diperoleh  dari  beliau.  Demikian perhedaan kedua kalimat tersebut. 
Ini  berarti  bahwa  persoalan  Lailat Al-Qadar, harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw., karena di  sanalah kita dapat memperoleh informasinya.
Kembali kepada pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa arti malam Qadar, dan mengapa malam itu dinamai  demikian?  Di sini ditemukan berbagai jawaban.

Kata qadar sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:
1.  Penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan  hidup  manusia. Pendapat  ini  dikuatkan  oleh penganutnya dengan firman Allah dalam surat Ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas. (Ada  ulama yang  memahami  penetapan  itu  dalam batas setahun). Al-Quran yang turun pada malam Lailat Al-Qadar,  diartikan  bahwa  pada malam  itu  Allah  Swt.  mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya Muhammad Saw.,  guna  mengajak  manusia kepada  agama  yang  benar, yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia baik sebagai  individu  maupun kelompok.

2. Kemuliaan.   Malam  tersebut  adalah  malam  mulia  tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih  sebagai  malam  turunnya Al-Quran,  serta  karena  ia  menjadi  titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata  qadar  yang  berarti  mulia ditemukan  dalam surat Al-An'am (6): 91 yang berbicara tentang kaum musyrik:

Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat.
3. Sempit. Malam tersebut adalah  malam  yang  sempit,  karena banyakuya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr:
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh ((Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala  urusan.
Kata qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara  1ain dalam surat A1-Ra'd (13): 26:
Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya).
Ketiga arti tersebut  pada  hakikatnya  dapat  menjadi  benar, karena  bukankah  malam tersebut adalah malam mulia, yang bila diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan  bahwa  pada malam  itu  malaikat-malaikat  turun ke bumi membawa kedamaian dan  ketenangan.  Namun  demikian,  sebelum  kita  melanjutkan bahasan  tentang  Laitat  Al-Qadar,  maka terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya  adakah  setiap  tahun atau  hanya  sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu?
Dari Al-Quran  kita  menemukan  penjelasan  bahwa  wahyu-wahyu Allah  itu diturunkan pada Lailat Al-Qadar. Akan tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa  Al-Quran  telah  sempurna  dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw., maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam  mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam  tersebut  adalah  karena  ia  terpilih  menjadi   waktu turunnya Al-Quran.
Pakar  hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah  bersabda bahwa malam qadar sudah tidak akan datang lagi.
Pendapat  tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak  teks hadis  yang  menunjukkan  bahwa  Lailat  Al-Qadar terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Bahkan  Rasululllah  Saw.  Menganjurkan umatnya  untuk  mempersiapkan  jiwa menyambut malam mulia itu, secara khusus pada  malam-malam  ganjil  setelah  berlalu  dua puluh Ramadhan.
.......................
Demikian sabda Nabi Saw.
Memang  turunnya  Al-Quran  lima  belas abad yang lalu terjadi pada malam Lailat Al-Qadar, tetapi  itu  bukan  berarti  bahwa ketika  itu saja malam mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun,  tetapi  karena  adanya  faktor  intern  pada malam itu sendiri.
Pendapat di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk  kata kerja  mudhari' (present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang mengandung arti kesinambungan, atau  terjadinya  sesuatu  pada masa kini dan masa datang.
Nah, apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya  itu?
Tidak  sedikit  umat  Islam  yang  menduganya  demikian. Namun dugaan itu menurut hemat penulis keliru, karena hal itu  dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak.  Di  sisi  1ain  berarti bahwa   kehadirannya   ditandai  oleh  hal-hal  yang  bersifat fisik-material,  sedangkan  riwayat-riwayat  demikian,   tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Seandainya,  sekali  lagi  seandainya,  ada  tanda-tanda fisik material, maka itu pun takkan ditemui  oleh  orang-orang  yang tidak    mempersiapkan   diri   dan   menyucikan   jiwa   guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin  akan  menyatu  dan bertemu.  Kebaikan  dan  kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat Al-Qadar tidak mungkin akan diraih  kecuali  oleh  orang-orang tertentu  saja.  Tamu  agung  yang  berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap  orang  di sana mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas  kedatangan  kekasih,  namun  ternyata  sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya?
Demikian  juga  dengan  Lailat  Al-Qadar.  Itu  sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan  ini  adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan  Ramadhan. Karena,  ketika  itu,  diharapkan  jiwa  manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai  satu  tingkat kesadaran  dan  kesucian  yang  memungkinkan  malam  mulia itu berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya  Rasul  Saw. menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah  mulai  bersemi,  dan Lailat  Al-Qadar  datang  menemui seseorang, ketika itu, malam kehadirannya menjadi saat qadar dalam  arti,  saat  menentukan bagi  perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang  bersangkutan  adalah  saat  titik  tolak  guna meraih  kemuliaan  dan  kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna  menyertai dan  membimbingnya  menuju  kebaikan  sampai  terbitnya  fajar kehidupannya yang baru kelak  di  hari  kemudian.  (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadar yang dikemukakan di atas!).
Syaikh  Muhammad 'Abduh, menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. 'Abduh  memberi ilustrasi berikut:  
Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, baik dan buruk. Manusia sering merasakan pertarungan antar keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan  ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang  itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, sampai akhirnya sidang memutuskan sesuatu.
Yang  membisikkan  kebaikan  adalah  malaikat,   sedang   yang membisikkan  keburukan  adalah  setan  atau paling tidak, kata 'Abduh, penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat  atau setan.  Turunnya malaikat pada malam Lailatul Al-Qadar menemui orang yang mempersiapkan diri  menyambutnya,  menjadikan  yang bersangkutan  akan  selalu  disertai  oleh  malaikat. Sehingga jiwanya selalu terdorong  untuk  melakukan  kebaikan-kebaikan, dan  dia  sendiri  akan  selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tak terbatas sampai fajar malam  Lailat  Al-Qadar, tapi  sampai  akhir  hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak.
Di atas telah di kemukakan bahwa Nabi Saw. menganjurkan sambil mengamalkan  i'tikaf  di  masjid  dalam  rangka perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat  suci.  Segala  aktivitas kebajikan   bermula   di  masjid.  Di  masjid  pula  seseorang diharapkan merenung  tentang  diri  dan  masyarakatnya,  serta dapat  menghindar  dari  hiruk pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan  pengetahuan  dan  pengkayaan iman.  Itu  sebabnya  ketika  melaksanakan i'tikaf, dianjurkan untuk  memperbanyak  doa  dan  bacaan  Al-Quran,  atau  bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan takwa.
Malam  Qadar  yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung  tentang diri  beliau  dan  masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai kesuciannya,  turunlah  Ar-Ruh  (Jibril)  membawa  ajaran  dan membimbing  beliau  sehingga  terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat  manusia. Karena  itu  pula  beliau  mengajarkan  kepada  umatnya, dalam rangka menyambut kehadiran Lailat Al-Qadar  itu,  antara  1ain adalah melakukan i'tikaf.
Walaupun  i'tikaf  dapat dilakukan kapan saja, dan dalam waktu berapa lama saja --bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i,  walau sesaat  selama dibarengi oleh niat yang suci-- namun Nabi Saw. selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa.  Di  sanalah  beliau  bertadarus  dan  merenung  sambil berdoa.
Salah satu doa yang  paling  sering  beliau  baca  dan  hayati maknanya adalah:
Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat, dan peliharalah kami dan siksa neraka (QS Al-Baqarah [2]: 201).
Doa ini bukan  sekadar  berarti  permohonan  untuk  memperoleh kebajikan  dunia  dan kebajikan akhirat, tetapi ia lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang disertai  usaha.  Permohonan  itu  juga  berarti  upaya  untuk menjadikan  kebajikan  dan  kebahagiaan  yang  diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di  dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.
Adapun   menyangkut   tanda   alamiah,   maka  Al-Quran  tidak menyinggungnya. Ada beberapa hadis mengingatkan hal  tersebut, tetapi  hadis  tersebut tidak diriwayatkan oleh Bukhari, pakar hadis yang dikenal  melakukan  penyaringan  yang  cukup  ketat terhadap hadis Nabi Saw.
Muslim,  Abu  Daud,  dan  Al-Tirmidzi antara lain meriwayatkan melalui sahabat Nabi Ubay bin Ka'ab, sebagai berikut,
Tanda kehadiran Lailat Al-Qadr adalah matahari pada pagi harinya (terlihat) putih tanpa sinar.
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan,
Tandanya adalah langit bersih, terang bagaikan bulan sedang purnama, tenang, tidak dingin dan tidak pula panas ...
Hadis ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan  karena  itu kita  dapat  berkata  bahwa  tanda  yang  paling jelas tentang kehadiran Lailat Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian  dan ketenangan.  Semoga  malam  mulia  itu berkenan mampir menemui kita.
More about Malam Lailatul Qadar Dalam Al Qur'an

Pembatal-Pembatal Puasa

Diposting oleh Selamat datang di blog on Sabtu, 04 Agustus 2012

Berikut adalah penjelasan mengenai pembatal puasa.
1. Makan dan minum dengan sengaja.
Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan para ulama[1]. Makan dan minum yang dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh melalui mulut, baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat (seperti roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan atau diharamkan (seperti khomr dan rokok[2]), atau sesuatu yang tidak ada nilai manfaat atau bahaya (seperti potongan kayu)[3]. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).
Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا نَسِىَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.”[4]
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah menghilangkan dari umatku dosa karena keliru, lupa, atau dipaksa.”[5]
Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan melalui infus. Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batallah puasanya karena injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan dan minum.[6]
Siapa saja yang batal puasanya karena makan dan minum dengan sengaja, maka ia punya kewajiban mengqodho’ puasanya, tanpa ada kafaroh. Inilah pendapat mayoritas ulama.[7]
2. Muntah dengan sengaja.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’.”[8]
3. Haidh dan nifas.
Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.”[9]
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ » . قُلْنَ بَلَى . قَالَ « فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا »
Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.”[10]
Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.”[11] Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas wajib mengqodho’ puasanya ketika ia suci.[12]
4. Keluarnya mani dengan sengaja.
Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’ seperti mengeluarkan mani dengan tangan, dengan cara menggesek-gesek kemaluannya pada perut atau paha, dengan cara disentuh atau dicium. Hal ini menyebabkan puasanya batal dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan kafaroh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى
“(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku[13]. Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum.[14]
Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal. Namun jika tidak keluar mani, puasanya tidak batal. Adapun jika sekali memandang istri, lalu keluar mani, puasanya tidak batal. Sedangkan jika sampai berulang kali memandangnya lalu keluar mani, maka puasanya batal.[15]
Lalu bagaimana jika sekedar membayangkan atau berkhayal (berfantasi) lalu keluar mani? Jawabnya, puasanya tidak batal.[16] Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا ، مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ
Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang dalam hati mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya[17]
5. Berniat membatalkan puasa.
Jika seseorang berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Jika telah bertekad bulat dengan sengaja untuk membatalkan puasa dan dalam keadaan ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal, walaupun ketika itu ia tidak makan dan minum. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.[18] Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, maka puasanya batal.”[19] Ketika puasa batal dalam keadaan seperti ini, maka ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya.[20]
6. Jima’ (bersetubuh) di siang hari.
Berjima’ dengan pasangan di siang hari bulan Ramadhan membatalkan puasa, wajib mengqodho’ dan menunaikan kafaroh. Namun hal ini berlaku jika memenuhi dua syarat: (1) yang melakukan adalah orang yang dikenai kewajiban untuk berpuasa, dan (2) bukan termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Jika seseorang termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa seperti orang yang sakit dan sebenarnya ia berat untuk berpuasa namun tetap nekad berpuasa, lalu ia menyetubuhi istrinya di siang hari, maka ia hanya punya kewajiban qodho’ dan tidak ada kafaroh.[21]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »
“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.”[22]
Menurut mayoritas ulama, jima’ (hubungan badan dengan bertemunya dua kemaluan dan tenggelamnya ujung kemaluan di kemaluan atau dubur) bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qodho’, ditambah dengan menunaikan kafaroh. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Namun yang nanti jadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai kafaroh.
Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya,  bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafaroh, yang menanggung kafaroh adalah si pria. Alasannya, dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah wanita yang bersetubuh di siang hari untuk membayar kafaroh sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya wanita memiliki kewajiban kafaroh, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan mewajibkannya dan tidak mendiamkannya. Selain itu, kafaroh adalah hak harta. Oleh karena itu, kafaroh dibebankan pada laki-laki sebagaimana mahar.[23]
Kafaroh yang harus dikeluarkan adalah dengan urutan sebagai berikut.
a) Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.
b) Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
c) Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud[24] makanan.[25]
Jika orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafaroh di atas, kafaroh tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari An Nawawi rahimahullah.[26]
Semoga sajian ini bermanfaat.
More about Pembatal-Pembatal Puasa