SEISMIC DATA PROCESSING

Diposting oleh Selamat datang di blog on Senin, 15 Juli 2013



a.        CMP Method
CDP (Common Deep Point) adalah istilah dalam pengambilan data seismik untuk konfigurasi sumber-penerima dimana terdapat satu titik tetap dibawah permukaan bumi. Untuk kasus reflektor horisontal (tidak miring) CDP kadang-dagang dikenal juga dengan CMP (Common Mid Point). Selain CDP dikenal juga CR (Common Receiver) untuk konfigurasi beberapa sumber satu penerima, CS (Common Shoot) untuk konfigurasi satu sumber beberapa penerima dan Common Offset untuk konfigurasi sumber penerima dengan jarak (offset) yang sama. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar dibawah berikut respon seismiknya.
 

Gambar  Common Deep Point

b.        Deconvolution
Dekonvolusi dilakukan sepanjang sumbu waktu (time axis) yang bertujuan untuk meningkatkan resolusi temporal dengan mengkompresi wavelet seismik asal sampai mendekati bentuk spike dan meminimalkan reverberasi gelombang. Untuk itulah, maka pada awal pengerjaan dekonvolusi diperlukan suatu time gate dimana di dalam gate tersebut diusahakan tercakup nilai-nalai sinyal to noise rasio yang cukup baik agar dihasilkan operator dekonvolusi yang tepat. Biasanya nilai signal to noise rasio yang masih cukup baik terdapat antara first break time sampai beberapa milisecond di bawahnya, dimana amplitudo sinyal masih dapat terlihat cukup kuat. Adapun jenis dekonvolusi yang dipakai pada pengolahan data kali ini adalah tipe spike/predictive dekonvolusi, dimana konsep dari metode ini yaitu dengan menggunakan teori filter Wiener yang merupakan sebuah operasi matematik yang menganut azas kuadrat terkecil dalam menjalankan operasinya.

Dekonvolusi adalah proses pengolahan data seismik yang bertujuan untuk meningkatkan resolusi vertikal dengan cara mengkompres wavelet seismik. Deconvolusi umumnya dilakukan sebelum stacking akan tetapi dapat juga diterapkan setelah stacking. Selain meningkatkan resolusi vertikal, deconvolusi dapat mengurangi efek 'ringing' atau multiple yang mengganggu interpretasi data seismik.  Deconvolusi dilakukan  dengan melakukan konvolusi antara data   seismik dengan sebuah filter yang dikenal dengan Wiener Filter . Filter Wiener diperoleh melalui permasaan matriks berikut:
x b = c
§    a adalah hasil autokorelasi wavelet input (wavelet input diperoleh dengan mengekstrak dari data seismik)
§   adalah Filter Wiener
§   adalah kros korelasi antara wavelet input dengan output yang dikehendaki.

Output yang dikehendaki terbagi menjadi beberapa jenis:
1. Zero lag spike (spiking deconvolution)
2. Spike pada lag tertentu.
3. time advanced form of input series (predictive deconvolution)
4. Zero phase wavelet
5. Wavelet dengan bentuk tertentu (Wiener Shaping Filters)

Zero lag spike memiliki bentuk [1 , 0, 0, 0, ..., 0] yakni amplitudo bukan nol terletak para urutan pertama. Jika Output yang dikehendaki memiliki bentuk [0 , 0, 1, 0, ..., 0] maka disebut spike pada lag 2 (amplitudo bukan nol terletak para urutan ketiga) dan seterusnya.



Dalam bentuk matrix, Persamaan Filter Wiener dituliskan sbb:

dimana n adalah jumlah elemen. Matriks diatas merupakan matriks dengan bentuk spesial yakni matriks Toeplitz, dimana solusi persamaan diatas secara efisien dapat dipecahkan dengan solusi Levinson. Dengan demikian operasi Deconvolusi jenis ini seringkali dikenal dengan Metoda Wiener-Levinson. Untuk memberikan kestabilan dalan komputasi numerik diperkenalkan sebuah Prewhitening (e) yakni dengan memberikan pembobotan dengan rentang 0 s.d 1 pada zero lag matriks a (sehingga elemen a0 matrix diatas menjadi a0(1+e).

Gambar di bawah inimengilustrasikan asumsi fundamental dekonvolusi maximum-likelihood, yakni reflektivitas bumi tersusun atas event-event besar yang bercampur dengan latar belakang event-event kecil Gaussian.




Hal ini berlawanan dengan dekonvolusi spiking, yang mengasumsikan distribusi random sempurna koefisien refleksi. Reflektivitas real log sonik pada Gambar 2.4 menunjukkan bahwa model seperti ini bisa dipertanggung jawabkan. Secara geologis, event-event besar tersebut berasosiasi dengan ketidakselarasan dan batas litologi utama.

Dari asumsi-asumsi model tersebut, dapat diturunkan fungsi objektif yang dapat diminimalkan untuk menghasilkan reflektivitas yang paling mirip dan kombinasi wavelet yang konsisten dengan asumsi statistika. Perhatikan bahwa metoda ini memberikan estimasi reflektivitas sparse dan wavelet.

Fungsi objektif J diberikan oleh :

dimana r(k) = koefisien refleksi pada sampel ke-k, m = jumlah refleksi, L = jumlah total sampel, N = akar kuadrat variasi bising, n = noise pada sampel ke-k, λ = likelihood bahwa sampel mempunyai sebuah refleksi. Urutan reflektivitas diasumsikan bersifat jarang , berarti sebuah spike yang diharapkan diatur oleh parameter λ yang merupakan rasio dari jumlah spike tidak nol yang diharapkan diatur oleh jumlah sampel trace. Biasanya λ mempunyai nilai kurang dari 1. Parameter lainnya yang diperlukan untuk mendeskripsi perilaku yang diharapkan adalah R , ukuran RMS spike besar, dan N, ukuran RMS dari noise. Setelah parameter-parameter tersebut dispesifikasi, semua solusi dekonvolusi dapat diuji untuk melihat apakah ia merupakan hasil proses statistika dengan parameter-parameter tersebut.

Sebagi contoh, bila estimasi reflektivitas mempunyai jumlah spike yang lebih besar daripada nilai yang diharapkan, maka ia mencerminkan hasl yang tidak benar. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, dapat dikatakan bahwa kita mencari solusi dengan jumlah spike minimum pada reflektivitasnya dan komponen noise yang lebih rendah.
 
Tentu saja terdapat jumlah yang tidak terbatas dari solusi yang mungkin didapatkan sehingga akan memerlukan waktu yang lama untuk melihat masing-masing kemungkinan solusi tersebut. Oleh karenanya digunakan metoda yang lebih sederhana untuk mendapatkan jawaban yang paling optimum.

Prinsipnya kita mulai dengan estimasi wavelet awal, estimasi reflektivitas sparse, selanjutanya di-iterasi sampai sebuah fungsi objektif yang rendah dapat tercapai dan dapat diterima.

Terdapat dua tahap prosedur yakni estimasi wavelet, memperbaharui reflektivitas sehingga diperoleh refektivitas estimasi, dan memperbaharui wavelet.

 
c.         Migration
Proses migrasi dilakukan pada data seismik dengan tujuan untuk mengembalikan reflektor miring ke posisi 'aslinya' serta untuk menghilangkan efek difraksi akibat sesar, kubah garam, pembajian, dll. Terdapat beberapa macam migrasi: Kirchhoff migration, Finite Difference migration, Frequency-Wavenumber migration dan Frequency-Space migration. Teknologi Q migration diterapkan pada data seismik dengan tujuan untuk melakukan migrasi seismik sekaligus melakukan koreksi amplitudo serta fasa seismik yang terdistorsi karena efek atenuasi dan velocity dispersion. Dengan kata lain, setelah melakukan Q Migration, diharapkan diperoleh data yang telah dikembalikan ke posisi dan timing yang seharusnya serta mengembalikan kandungan frekuensi tinggi yang hilang akibat atenuasi.

{ 0 komentar ... read them below or add one }

Posting Komentar