The International Handbook of Coal Petrography (1963) menyebutkan bahwa batubara adalah batuan sedimen yang mudah terbakar, terbentuk dari sisa tanaman dalam variasi tingkat pengawetan, diikat proses kompaksi dan terkubur dalam cekungan-cekungan pada kedalaman yang bervariasi.
Sedangkan Prijono (Dalam Sunarijanto, dkk, 2008) berpendapat bahwa batubara adalah bahan bakar hidrokarbon tertambat yang terbentuk dari sisa tumbuh-tumbuhan yang terendapkan dalam lingkungan bebas oksigen serta terkena pengaruh temperatur dan tekanan yang berlangsung sangat lama. Sedang menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dijelaskan bahwa ”batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap di dalam tanah selama jutaan tahun. Endapan tersebut telah mengalami berbagai perubahan bentuk/komposisi sebagai akibat dari dari adanya proses fisika dan kimia yang berlangsung selama waktu pengendapannya. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam katagori bahan bakar fosil.
Batubara merupakan salah satu sumber energi fosil alternatif yang cadangannya cukup besar di dunia. Bagi Indonesia, yang sumber energi minyak buminya sudah semakin menipis, pengusahaan penggalian batubara sudah merupakan suatu keniscayaan. Hampir setiap pulau besar di Indonesia memiliki cadangan batubara, walau dalam kuantitas dan kualitas yang berbeda.
Terdapat dua model formasi pembentuk batubara (coal bearing formation), yakni model formasi insitu dan model formasi endapan material tertransportasi (teori drift). Berikut akan dijelaskan masing-masing model formasi pembentuk batubara tersebut.
1). Model Formasi Insitu
Menurut teori ini, batubara terbentuk pada lokasi dimana pohon-pohon atau tumbuhan kuno pembentukya tumbuh. Lingkungan tempat tumbuhnya pohon-pohon kayu pembentuk batubara itu adalah pada daerah rawa atau hutan basah. Kejadian pembentukannya diawali dengan tumbangnya pohon-pohon kuno tersebut, disebabkan oleh berbagai faktor, seperti angin (badai), dan peristiwa alam lainnya. Pohon-pohon yang tumbang tersebut langsung tenggelam ke dasar rawa. Air hujan yang masuk ke rawa dengan membawa tanah atau batuan yang tererosi pada daerah sekitar rawa akan menjadikan pohon-pohon tersebut tetap tenggelam dan tertimbun.
Demikianlah seterusnya, bahwa semakin lama semakin teballah tanah penutup pohon-pohonan tersebut. Dalam hal ini pohon-pohon tersebut tidak menjadi busuk atau tidak berubah menjadi humus, tetapi sebaliknya mengalami pengawetan alami. Dengan adanya rentang waktu yang lama, puluhan atau bahkan ratusan juta tahun, ditambah dengan pengaruh tekanan dan panas, pohon-pohonan kuno tersebut mengalami perubahan secara bertahap, yakni mulai dari fase penggambutan sampai ke fase pembatubaraan.
2) Model Formasi Transportasi Material (Teori Drift)
Berdasarkan teori drift ini, batubara terbentuk dari timbunan pohon-pohon kuno atau sisa-sisa tumbuhan yang tertransportasikan oleh air dari tempat tumbuhnya. Dengan kata lain pohon-pohon pembentuk batubara itu tumbang pada lokasi tumbuhnya dan dihanyutkan oleh air sampai berkumpul pada suatu cekungan dan selanjutnya mengalami proses pembenaman ke dasar cekungan, lalu ditimbun oleh tanah yang terbawa oleh air dari lokasi sekitar cekungan.
Seterusnya dengan perjalanan waktu yang panjang dan dipengaruhi oleh tekanan dan panas, maka terjadi perubahan terhadap pohon-pohon atau sisa tumbuhan itu mulai dari fase penggambutan sampai pada fase pembatubaraan.
Terdapat perbedaan tipe endapan batubara dari kedua formasi pembentukan tersebut. Batubara insitu biasanya lebih tebal, endapannya menerus, terdiri dari sedikit lapisan, dan relatif tidak memiliki pengotor. Sedangkan batubara yang terbentuk atau berasal dari transportasi material (berdasarkan teori drift) ini biasanya terjadi pada delta-delta kuno dengan ciri-ciri: lapisannya tipis, endapannya terputus-putus (splitting), banyak lapisan (multiple seam), banyak pengotor, dan kandungan abunya biasanya tinggi.
Dari kedua teori tentang formasi pembentukan batubara tersebut di atas dapat diketahui bahwa kondisi lingkungan geologi yang dipersyaratkan untuk dapat terjadinya batubara adalah: berbentuk cekungan berawa, berdekatan dengan laut atau pada daerah yang mengalami penurunan (subsidence), karena hanya pada lingkungan seperti itulah memungkinkan akumulasi tumbuhan kuno yang tumbang itu dapat mengalami penenggelaman dan penimbunan oleh sedimentasi. Tanpa adanya penenggelaman dan penimbunan oleh sedimentasi, maka proses perubahan dari kayu menjadi gambut dan seterusnya menjadi batubara tidak akan terjadi, malahan kayu itu akan menjadi lapuk dan berubah menjadi humus.
Terdapat dua tahapan proses pembentukan batubara, yakni proses penggambutan (peatification) dan proses pembatubaraan (coalification). Pada proses penggambutan terjadi perubahan yang disebabkan oleh makhluk hidup, atau disebut dengan proses biokimia, sedangkan pada proses pembatubaraan prosesnya adalah bersifat geokimia.
Pada proses biokimia, sisa-sisa tumbuhan atau pohon-pohonan kuno yang tumbang itu terakumulasi dan tersimpan dalam lingkungan bebas oksigen (anaerobik) di daerah rawa dengan sistem drainase (drainage system) yang jelek, dimana material tersebut selalu terendam beberapa inchi di bawah muka air rawa. Pada proses ini material tumbuhan akan mengalami pembusukan, tetapi tidak terlapukan. Material yang terbusukkan akan melepaskan unsur-unsur hidrogen (H), Nitrogen (N), Oksigen (O), dan Karbon (C) dalam bentuk senyawa-senyawa: CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya bakteri-bakteri anaerobik serta fungi merubah material tadi menjadi gambut (peat). (Susilawati, 1992 dalam Sunarijanto, 2008: 5).
Sedangkan pada proses pembatubaraan (coalification), terjadi proses diagenesis dari komponen-komponen organik yang terdapat pada gambut. Peristiwa diagenesis ini menyebabkan naiknya temperatur dalam gambut itu. Dengan semakin tebalnya timbunan tanah yang terbawa air, yang menimbun material gambut tersebut, terjadi pula peningkatan tekanan. Kombinasi dari adanya proses biokimia, proses kimia, dan proses fisika, yakni berupa tekanan oleh material penutup gambut itu, dalam jangka waktu geologi yang panjang, gambut akan berubah menjadi batubara. Akibat dari proses ini terjadi peningkatan persentase kandungan Karbon (C), sedangkan kandungan Hidrogen (H) dan Oksigen (O) akan menjadi menurun, sehingga dihasilkan batubara dalam berbagai tingkat mutu (Susilawati, 1992 dalam Sunarijanto, 2008: 5).
Secara berurutan, proses yang dilalui oleh endapan sisa-sisa tumbuhan sampai menjadi batubara yang tertinggi kualitasnya adalah sebagai berikut:
- Sisa-sisa tumbuhan mengalami proses biokimia berubah menjadi gambut (peat);
- Gambut mengalami proses diagenesis berubah menjadi batubara muda (lignite) atau disebut juga batubara coklat (brown coal);
- Batubara muda (lignite atau brown coal) menerima tekanan dari tanah yang menutupinya dan mengalami peningkatan suhu secara terus menerus dalam waktu jutaan tahun, akan berubah menjadi batubara subbituminus (sub-bituminous coal);
- Batubara subbituminus tetap mengalami peristiwa kimia dan fisika sebagai akibat dari semakin tingginya tekanan dan temperatur dan dalam waktu yang semakin panjang, berubah menjadi batubara bituminus (bitumninous coal);
- Batubara bitumninus ini juga mengalami proses kimia dan fisika, sehingga batubara itu semakin padat, kandungan karbon semakin tinggi, menyebabkan warna semakin hitam mengkilat. Dalam fase ini terbentuk antrasit (anthracite);
- Antrasit, juga mengalami peningkatan tekanan dan temperatur, berubah menjadi meta antrasit (meta anthrasite);
- Meta antrasit selanjutnya akan berubah menjadi grafit (graphite). Peristiwa perubahan atrasit menjadi grafit disebut dengan penggrafitan (graphitization).
Dalam semua tingkatan pembentukan batubara itu terdapat berbagai unsur yang sangat mempengaruhi peringkat mutu batubaranya dan sebagai dasar pembagian klas penggunaannya. Secara garis besarnya dalam batubara terdapat unsur-unsur:
- Kandungan air total (total moisture), yakni jumlah kandungan air yang ada pada fisik batubara, yang terdiri dari air dalam batubara itu sendiri dan air yang terbawa waktu melakukan penambangan.
- Kandungan air bawaan (inheren moisture), yakni air yang ada dalam batubara itu mulai saat awal pembentukannya. Kadar air itu pada dasarnya akan mempengaruhi nilai batubara, artinya semakin tinggi kandungan air, maka semakin rendahlah mutu batubara tersebut.
- Kandungan zat terbang (volatile matter), adalah semua unsur yang akan menguap (terbang) waktu batubara itu mengalami pemanasan. Volatile matter yang tinggi akan menyebabkan mutu batubara jadi rendah, karena pada intinya volatile matter tidak memberikan nilai kalor. Batubara dengan volatile matter tinggi, yang tertumpuk pada stockpile, akan mudah mengalami swabakar, terutama pada udara lembab dan adanya unsur pemicu oksidasi di dalamnya, seperti pirit dan sebagainya.
- Total sulphur (belerang), adalah salah satu unsur yang dapat menurunkan mutu batubara, karena unsur belerang yang banyak akan menyebabkan rendahnya nilai kalor dan dapat menyebabkan kerusakan pada dapur pembakaran, serta juga menyebabkan adanya gas beracun.
- Kandungan abu (ash content), adalah sejumlah material yang didapat dari sisa pembakaran batubara. Semakin tinggi kadar abu batubara, maka semakin rendahlah mutu batubara tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, abu ini berasal dari material yang tidak dapat dioksidasi oleh oksgen.
- Kandungan karbon tertambat (fixed carbon), adalah persentase karbon yang ada pada suatu satuan volume batubara. Semakin tinggi kadar karbon, maka semakin baguslah kualitas batubara tersebut, karena yang paling berguna dari batubara itu adalah karbon ini, karena karbonlah yang menghasilkan nilai kalori pada waktu dilakukan pembakaran batubara.
- Nilai kalori (CV), adalah jumlah kalori yang dihasilkan per kg batubara yang dibakar. Semakin tinggi nilai kalorinya, semakin baguslah mutu batubaranya.
{ 0 komentar ... read them below or add one }
Posting Komentar