Penyebab Semburan Lumpur Sumber 1 (Blog Geolog)
Pada artikelnya, Davies (2007) langsung mengkategorikan fenomena ini sebagai gunung lumpur (Mud Vulcano), Gunung lumpur yang terdapat di Jawa bagian timur pada umumnya terbentuk pada cekungan yang terisi oleh endapan batuan sedimen laut yang cukup tebal, mengandung minyak dan gas bumi. Kemunculan lumpur dalam proses pembentukan gunung di wilayah ini, pada umumnya diakibatkan oleh adanya struktur geologi, seperti lipatan dan sesar serta energi yang mendorongnya sehingga lumpur tersebut dapat mencapai permukaan. Gas bumi bertekanan tinggi yang berada di puncak antiklin dan adanya sesar sebagai zona lemah merupakan faktor penyebab migrasinya fluida atau gas ke permukaan.
Gambar 5. Transisi Gunung Lumpur (Mud Vulcano)
Pada kasus Lapindo semburan gunung Lumpur (Mud Vulcano) dipicu oleh aktivitas pengeboran yang menggunakan tekanan besar pada lapisan limestone. Gunung lumpur bukanlah kejadian baru di Jawa Timur, setidaknya ada dua gunung lumpur aktif: di Sangiran, Purwodadi (Davies, 2007; Mazzini 2007) dan Kalang Anyar (Davies , 2008). Mazzini (2007) memandang hipotesa Davies (2007), tentang semburan yang dipicu oleh aktivitas pengeboran, sebagai inconclusive. Kemudian, Mazzini mengangkat hipotesa semburan dipicu gempa bumi. Bantahan Mazzini itu dibantah kembali oleh Davies (2008) dengan menghadirkan kronologis pengeboran di sumur Banjar Panji -1.
Dalam kronologis itu dapat diketahui bahwa setelah mata bor mencapai kedalaman 1.091 meter Lapindo melanjutkan pengeboran tanpa menggunakan selubung pelindung ( casing) apapun. Pada 27 Mei, selang 10 menit setelah gempa mengguncang Yogyakarta -Jawa tengah pukul 06:02 WIB terjadi loss, masuknya lumpur ke dalam lubang pengeboran. Lapindo meneruskan pengeboran selama 6 jam sampai mencapai kedalaman 2.834 meter. Lapindo memutuskan untuk menghentikan pengeboran dan menarik mata bor ke permukaan tanah.
Ketika bor sudah keluar semua, lumpur mulai mengalir dari lubang. Lapindo berusaha menutup lubang dengan semen dan berhasil. Lumpur tidak lagi keluar dari lubang pengeboran itu. Esok harinya, 28 Mei, terjadi kick, cairan yang mengaliri seluruh lubang bor menendang lapisan tanah di seputar lubang pengeboran yang ternyata tidak cukup kuat menahan tekanan dari cairan itu. Akibatnya, lapisan tanah di sekeliling lubang pengeboran retak, dan cairan itu keluar dari retakan-retakan itu. Kejadian ini disebut sebagai blow out. Davies et al. (2008) menolak argumentasi gempa bumi sebagai penyebab semburan karena “ there were other earthquakes, which were larger, closer and generated stroner shaking, did not intitate an eruption (635).” Singkatnya, kondisi geologis di Sidoarjo dan sekitarnya potensial untuk terjadinya gunung lumpur mengingat ada beberapa gunung lumpur aktif saat ini, yang dibutuhkan adalah pemicunya.
Gambar 6. Semburan Lumpu Lapindo Menenggelamkan Perumahan Warga
Penyebab Semburan Lumpur Sumber 2 (Wikipedia)
Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.
Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).
Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis (rancangan) pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat di atasi dengan pompa lumpurnya Lapindo (Medici).
Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.
Gambar 7. Peta Gunung Lumpur di Jawa Timur
Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi. Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil & kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi & berhasil. Inilah mengapa surface blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri.
Gambar 8. Blowout di Sekitar Sumur
Dalam AAPG 2008 International Conference & Exhibition dilaksanakan di Cape Town International Conference Center, Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008, merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan pendapat ahli: 3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung GEMPA YOGYA sebagai penyebab, 42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan PEMBORAN sebagai penyebab, 13 (tiga belas) suara ahli menyatakan KOMBINASI Gempa dan Pemboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini. Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 juga menemukan kesalahan-kesalahan teknis dalam proses pemboran.
Dari paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kemungkinan terbesar penyebab semburan lumpur Sidoarjo (Lusi) adalah akibat pengeboran, karena kelelaian dalam proses pengeboran yaitu tidak memasang casing sehingga terjadi blow out (keluarnya semburan lumpur dari titik pengeboran), ditambah lagi hasil konferensi AAPG 2008, yang sebagian besar ahli geologi berpendapat bahwa semburan lumpur lapindo disebabkan dari kesalahan pengeboran yang tidak sesuai SOP, selain itu dari hasil investigasi Departemen Energi dan BP Migas (Sekarang SKK Migas) tanggal 16 Juni 2006 menyetakan bahwa semburan lumpur panas tersebut akibat kesalahan pengeboran bukan akibat gempa Yogyakarta yang terjadi 2 hari sebelum semburan lumpur.
Video 1. Animasi Penutup (Casing) Sumur pada Pengeboran Minyak dan Gas
Dampak Lumpur Lapindo
Semburan awal di tengah sawah mencapai ketinggian 40 -50 meter dari permukaan tanah. Setiap harinya, sekitar 7.000 – 150.000 meter kubik lumpur panas bersuhu 90 derajat celcius meluber ke permu kaan bumi. Untuk tujuan tidak mengakibatkan kepanikan masyarakat, terjadilah negosiasi internal perusahaan yang memutuskan untuk mempublikasikan angka 25.000 meter kubik per hari kepada media (Kompas 3/06/2006). Masih menurut Kompas (19/06/2006), dalam waktu 21 hari saja lumpur sudah menutup sekitar 90 hektar kawasan persawahan, tambak dan perumahan. Dalam waktu satu bulan, luberan lumpur menutupi lebih kurang 200 hektar lahan (Kompas 17/07/2007). Sementara itu, Normile (2006) mencatat bahwa sampai Septembe r 2006, lumpur telah meluberi 240 hektar lahan; membanjiri desa -desa, pabrik-pabrik, tambak udang dan sawah. Tiap hari semakin banyak bangunan (pabrik, sekolah, masjid, toko dan kantor pemerintahan) harus ditinggalkan karena banyaknya volume lumpur yang terus keluar dari perut bumi. Sepuluh pabrik terpaksa menghentikan aktivitasnya (Kompas 19/6/2006), akibatnya lebih dari 1.873 buruh kehilangan pekerjaannya (Santoso, 2007). Ratusan hektar sawah menjadi tidak produktif, bukan hanya karena terendam lumpur tapi juga menutup saluran irigasi bagi sawah yang tak terendam lumpur. Lumpur juga menyerang tambak -tambak. Dalam observasi peneliti di muara Sungai Porong, sedimentasi lumpur telah membentuk sebuah pulau kecil. Pada keadaan pasang di malam hari, “pulau” kecil itu menghalangi air pasang dari Selat Madura sehingga air laut masuk ke tambak -tambak yang dekat dengan bibir pantai. Akibatnya, ikan-ikan berenang ke laut dan hilang (Wawancara Irysad, petani tambak).
Gambar 9. Citra Satelit Lapindo
Dalam wawancaranya di ANTV (05/04/2009), Bakrie mengatakan bahwa Lapindo hanyalah perusahaan kecil dibandingkan seluruh unit usahanya, tapi telah menyebabkan masalah besar baginya karena Lapindo harus membayar lebih dari 3,8 trilliun rupiah (sekitar 421 juta US Dollar).
Laporan BPK RI (2007) menyebutkan sampai Februari 2007 sudah 470 hektar area (229,7 hektar diantaranya sawah padi dan 64,015 hektar adalah sawah tebu) yang terendam lumpur, sementara itu 499,84 hektar lahan terkena dampak rembesan lumpur. Pemerintah dan Lapindo sudah berusaha membangun kolam penampungan lumpur seluas 251,9 hektar (laporan BPK RI, 2007). Masih menurut laporan BPK RI, jumlah pengungsi per 19 Januari 2007 mencapai 14.768 jiwa yang tergabung dalam 4.125 KK. Berdasarkan tanggal pantauan, berarti jumlah itu baru pengungsi dari empat desa yang masuk dalam Peraturan Presiden 14/2007 (Jatirejo, Kedungbendo, Renokenongo dan Siring), dan belum termasuk pengungsi baru dari tiga desa tambahan (Besuki, Pejarakan dan Kedung Cangkring) menurut Perpres 48/2008).
Gambar 10. Semburan Lumpur yang Sampai Sekarang Masih Aktif
Gambar 11. Akibat Penurunan Permukaan Tanah Sehingga Banyak Bangunan yang Rusak
Artikel Terkait : Kupas tuntas Lapindo Brantas (1)
{ 0 komentar ... read them below or add one }
Posting Komentar